Kamis, 07 November 2013

pertamina kini


Diberlakukannya UU baru tersebut membawa beberapa konsekuensi bagi Pertamina. Pertama, Pertamina bukan lagi pemegang Kuasa Pertambangan migas, melainkan diserahkan kepada BPMIGAS. Ke dua, Pertamina diperlakukan sebagai pemain “biasa” dalam industri migas. Pertamina tidak lagi sebagai perusahaan istimewa yang didirikan secara khusus berdasarkan UU, melainkan harus tunduk kepada UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas. Ke tiga, sektor hulu dan hilir harus dipecah (unblunded) ke dalam ranting-ranting usaha hulu dan hilir. Pertamina bukan lagi an integrated state oil company. Ke empat, kewajiban Pertamina dalam menjamin pasokan BBM dalam negeri dihapus. Meskipun sampai saat ini, karena kelengkapan infrastruktur distribusi BBM yang dimiliki, Pertamina masih diberi kepercayaan untuk melakukannya. Ke lima, Pertamina bukan lagi sebagai satu-satunya “pintu” investasi migas bagi para kontraktor, baik nasional maupun asing. Kini, para kontraktor tersebut harus melalui tiga pintu: Ditjen Migas, BPMIGAS dan Depkeu cq Bea dan Cukai.
Di bawah UU migas yang baru tersebut, Pertamina dihadapkan pada tantangan yang cukup berat. Pertamina dituntut untuk memperbaiki tata kelola perusahaan, sekaligus memupus citra buruk yang selama ini melekat, antara lain: KKN, inefisien, kualitas pelayanan yang buruk, tidak transparan, dan sebagainya. Namun, tantangan tersebut ditanggapi oleh Pertamina secara positif, dengan melakukan pembenahan dalam berbagai sisi, melalui program yang dikenal dengan “Transformasi Pertamina”.
Melalui program transformasi, Pertamina kini memiliki long-term plan (RJPP) yang jelas – hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, dengan target menjadi world class national oil company pada 2023. Perubahan budaya organisasi dan pengembangan SDM menjadi perhatian utama. Pertamina juga berusaha lebih fokus pada core bisnisnya. Tata nilai perusahaan dibangun sedemikian rupa, bersama-sama dengan program pencitraan yang masif, dalam rangka memupus citra buruk tadi.
Hingga tahun 2009 ini, hasil proses transformasi itu sudah mulai terlihat. Program breaktrough project (BTP) menjadi salah satu bukti perubahan budaya organisasi menuju budaya kinerja. Di sektor hilir, perubahan itu terlihat jelas dengan melihat perkembangan SPBU-SPBU, serta market share pelumas Pertamina yang terus meningkat, di tengah serbuan merek-merek pelumas asing. Di sektor hulu, hasil transformasi juga terlihat dengan pencapaian produksi yang terus meningkat, di tengah menurunnya produksi kontraktor-kontraktor migas lainnya.
Sekilas, memang terlihat bahwa transformasi yang terjadi di tubuh Pertamina seolah-olah tidak terlepas dari perubahan statusnya sebagai PT, akibat diberlakukannya UU No 22 Tahun 2001. Namun, jika kita kaji lebih jauh, peran UU tersebut sebenarnya terletak pada “efek psikologis” yang ditimbulkannya, bukan sebagai “pijakan” transformasi itu sendiri. Mari kita lihat bagaimana efek psikologis itu bekerja.
Pertama, UU tersebut membuat Pertamina merasa “kecil”, akibat statusnya sebagai pemain “biasa”. Sejumlah kewenangannya telah diambil alih oleh BPMIGAS dan BPHMIGAS. Pendapatan Pertamina pun, kini, murni dari hasil usahanya sendiri. Karenanya, Pertamina perlu berjuang keras agar bisa survive di tengah ketatnya persaingan usaha migas. Ke dua, dengan perubahan statusnya menjadi PT, Pertamina lebih “fleksibel” dalam menentukan arah dan kebijakan perusahaan, termasuk dalam penyusunan RJPP, proyek-proyek terobosan (BTP), pengembangan SDM, dan sebagainya.
UU No 22 Tahun 2001, serta PP 35 Tahun 2004 yang merupakan peraturan pelaksananya, sama sekali tidak memberikan pijakan hukum yang “membesarkan” Pertamina. Yang terjadi justeru sebaliknya: Pertamina dikerdilkan. “Efek psikologis” dari UU itulah yang men-trigger Pertamina agar tumbuh besar dengan usahanya sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar